Amnesty Sesalkan 6 Polisi di Kendari hanya Diberi Sanksi Administratif

Hukum | Senin, 04 November 2019 - 14:59 WIB

Amnesty Sesalkan 6 Polisi di Kendari hanya Diberi Sanksi Administratif
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid (paling kanan), saat menggelar konferensi pers beberapa waktu lalu (Miftahul Hayat/ Jawa Pos)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Amnesty International Indonesia dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) merasa prihatin atas sanksi administratif ringan, terhadap enam oknum polisi yang diduga terlibat tewasnya dua mahasiswa Kendari pada September 2019 lalu. Hukuman ini dijatuhkan setelah sidang disiplin internal pada 28 Oktober 2019.

“Enam oknum polisi yang terlibat dalam kematian dua mahasiswa pengunjuk rasa pada September 2019 lalu, hanya diberikan hukuman administratif yang sangat ringan setelah melalui persidangan disiplin internal kepolisian,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, dalam keterangan yang diterima JawaPos.com, Senin (4/10).


Usman menuturkan, keenam oknum aparat kepolisian itu hanya menerima peringatan tertulis, yakni kenaikan pangkat dan gaji mereka ditangguhkan selama satu tahun, serta diberi sanksi 21 hari penempatan di tempat khusus. Menurutnya, sanksi tersebut sangatlah ringan karena menewaskan dua mahasiswa.

“Sanksi yang dijatuhkan oleh Propam Polda Sulawesi Tenggara sebagai kegagalan total oleh pihak berwenang, untuk memastikan pertanggungjawaban atas pelanggaran serius hak asasi manusia,” terang Usman.

Hukuman yang dijatuhkan melalui sidang disiplin internal pada 28 Oktober menyatakan bahwa enam oknum polisi itu telah melanggar Kode Etik Kepolisian akibat perilakunya dalam menangani aksi protes mahasiswa terkait UU KPK hasil revisi. Terbunuhnya dua orang pengunjuk rasa menunjukkan bahwa diperlukan upaya yang jauh lebih serius untuk menegakkan akuntabilitas.

“Dalam hal ini, untuk memperbaiki kegagalan akuntabilitas, kami menyerukan pihak berwenang Indonesia untuk memulai investigasi yang independen, menyeluruh, dan efektif terhadap pembunuhan di luar hukum dan penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh polisi,” ucap Usman.

Usman memandang, jika hasil penyelidikan yang menyimpulkan bahwa petugas polisi melakukan pembunuhan di luar hukum atau menggunakan kekuatan berlebihan, maka mereka wajib bertanggung jawab. Mereka harus dibawa ke pengadilan dalam proses yang memenuhi standar keadilan internasional.

“Kegagalan membawa tersangka pelaku pelanggaran ini ke pengadilan akan memperkuat persepsi bahwa aparat kepolisian beroperasi di atas hukum dan akan memicu iklim ketidakpercayaan terhadap pasukan polisi di negara tersebut,” sesal Usman.

Oleh karenanya, Usman menilai penekanan impunitas di antara petugas kepolisian merupakan masalah yang sudah berlangsung lama di Indonesia. Meski telah dikeluarkan sejumlah Peraturan Kepala Kepolisian (Perkap), termasuk No. 8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, namun tidak ada perubahan yang berarti dalam praktik pemolisian di Indonesia.

Sebelumnya, dua mahasiswa Universitas Halu Oleo Randi dan Muhammad Yusuf Kardawi meninggal dunia usai terlibat bentrokan dengan polisi dalam unjuk rasa di depan DPRD Sultra 26 September 2019.

Randi diketahui tertembak di dada kiri bawah ketiak dan tembus di dada kanan. Sementara, Yusuf meninggal dengan kondisi kepala retak. Berdasarkan investigasi Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), Yusuf terkena tembak di kepala.

Sumber: Jawapos.com
Editor: E Sulaiman









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook